Kamis, 11 November 2010

Is it possible to map the human subject?

Is it possible to map the human subject?

Apakah mungkin untuk memetakan subjek manusia?

Apakah mungkin untuk bisa memetakan subjek manusia? Maaf jika pertanyaan tersebut saya ulang-ulang kembali, pertanyaan utama tersebut saya dapat dari setelah saya membaca sebuah buku yang dirujukan oleh dosen saya yaitu Pak Harry Mufrizon. Buku tersebut adalah Mapping The Subject : Geographies of Cultural Transformation yang disusun oleh Steve Pile dan N. J. Thrift. Buku tersebut dapat kalian baca disini. 

Didalam buku tersebut saya menemukan sebuah pertanyaan yang memacu pada sebuah riset yang akan saya cari lewat internet. Apakah manusia bisa memetakan subjeknya sendiri? Layaknya mereka memetakan hewan, virus, ataupun bakteri. Sebenarnya saya juga masih kurang paham dengan apa yang disebut dengan memetakan karena dulu SMA saya masuk di jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Tidak seperti anak Ilmu Pengetahuan Sosial yang belajar tentang Sosiologi secara mendalam. Jadi, yaa mungkin kalau salah maaf-maaf ajanih yah. Saya hanya berusaha memenuhi apa yang diinginkan dosen saya untuk membuat sebuah paper dan ini juga akan menjadi satu langkah yang saya ambil untuk menjadi lebih baik. 

Baiklah kita akan memulai dengan Basmalah dan mengakhirinya nanti dengan Hamdalah. Bismilahirohmanirohim. Langkah pertama yang akan saya ceritakan adalah sebagai berikut dimulai dari pemetaan manusia purba.


Peta Manusia Purba di Indonesia

Selama jangka waktu tujuh puluh tahun lamanya, di berbagai tempat di sepanjang lembah Sungai Brantas di Jawa Timur, telah ditemukan sebanyak 41 buah fosil manusia purba itu. Situs-situs yang tertua berlokasi di dekat desa Trinil, Ngandong, Sangiran dan dekat kota Mojokerto. Fosil manusia purba Megantropus Palaeojavanicus ditemukan di Sangiran, wilayah Kabupaten Sragen Jawa Tengah, lebih kurang 15 Km ke arah utara Kota Surakarta oleh Von Koenigswald seorang ahli geologi berkebangsaan Jerman pada tahun 1936 dan 1941. Penemuan tersebut dinamakan Megantropus Palaeojavanicus.

Mengenal lebih dekat Sangiran
Sangiran adalah daerah pedalaman yang terletak di lereng kaki Gunung Lawu, sekitar 17 km ke arah utara dari kota Solo. Secara administratif terletak di Kabupaten Sragen, dan sebagian terletak di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Pada 1977 Sangiran dan sekitarnya ditetapkan sebagai daerah cagar budaya. Luas wilayah situs yang sudah mendapat pengakuan internasional ini, kurang lebih 56 km2 yang mencakup tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, yaitu Kecamatan Kalijambe, Gemolong dan Plupuh serta Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Di kawasan ini, bisa ditemukan banyak informasi mengenai sisa-sisa kehidupan masa lampau.
Selain itu, terdapat informasi lengkap tentang sejarah kehidupan manusia purba dengan segala hal yang ada di sekelilingnya. Dari soal tempat hidup, pola kehidupannya, satwa yang hidup bersamanya sampai proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 juta tahun yang lalu.
Sumber: Sinar Harapan 2003

Pada tahun 1890 Dr. Eugene Dubois menemukan fosil Pithecantropus Erectus. Temuan ini berupa fosil tengkorak, tulang paha dan geraham-geraham manusia prasejarah pada lapisan pleistosin di tepi Begawan Solo, dekat Trinil (sebelah barat Ngawi, Jawa Timur). Pada mulanya ditemukan sebagian tulang rahang, kemudian ditemukan bagian atas tengkorak dan geraham. Sebuah geraham dan sebuah tulang paha kiri ditemukan lagi pada tahun 1892.
Setelah ditemukannya fosil Pithecantropus Erectus tersebut orang mulai mengadakan penyelidikanpenyelidikan di sekitar Trinil. Pada tahun 1931 dan 1934 Dr. G.H.R. Von Koenigswald di daerah Ngandong, masih di wilayah lembah Bengawan Solo menemukan 11 tengkorak dan dua tulang paha. Sebagian dari tengkorak itu sudah rusak, tetapi ada beberapa yang masih baik dan bisa digunakan untuk penelitian yang saksama. Penyelidikan yang dilakukan Dr. G.H.R. Von Koenigswald dan Weidenriech menunjukkan bahwa mahluk ini tingkatannya lebih tinggi daripada Pithecantropus Erectus, bahkan mungkin dapat digolongkan kepada manusia (homo sapiens). Pada tahun 1936 Dr. G.H.R. Von Koenigswald menemukan fosil manusia purba ketika mengadakan penelitian di lembah sungai Solo di dekat Mojokerto.
Ia menemukan kerangka manusia yang diperkirakan lebih tua daripada sisasisa yang ditemukan oleh Dr. Eugene Dubois. Fosil manusia purba jenis tersebut ditemukan di daerah Wajak, dekat Tulung Agung, Jawa Timur. Makhluk tersebut di sebut Homo Mojokertensis. Para ahli menyebutnya Homo Wajakensis, artinya manusia dari wajak. Fosil manusia purba dari Mojokerto itu merupakan fosil anak-anak. Menurut ahli purbakala Tn. Van der Hoop, Homo Mojokertensis hidup kira-kira 600.000 tahun yang lalu, sedangkan mahluk Pithecantropus Erectus 300.000 tahun yang lalu.

Pada tahun 1939, Von Koenigswald menemukan fosil manusia purba di lembah Bengawan Solo, desa Perning di dekat kota Mojokerto, Jawa Timur. Fosil ini berupa tengkorak kanak-kanak yang tampak pada giginya yang diperkirakan berusia 5 tahun. Jenis manusia purba ini disebut Pithecantropus Mojokertensis, artinya manusia kera dari Mojokerto. Pada tahun yang sama Von Koenigswald menemukan lagi fosil manusia purba di lembah sungai Bengawan Solo. Jenis manusia purbanya disebut Pithecantropus Robusta, artinya manusia kera yang kuat tubuhnya. Disebut demikian karena bentuk tubuhnya lebih besar dan kuat daripada Pithecantropus Erectus.

Dan marilah kita tengok ke masa sekarang, apakah kita masih menjadi manusia purba yang dapat dipetakan seperti itu? Setelah saya cermati dan telaah nampaknnya manusia modern tidak dapat dipetakan. Hanya saja manusia dapat di kelompokan, namun itu pun kita harus memiliki acuan denga tipe apa manusia bisa di kelompokan. Apakah dari segi ras, agama, atau suku? Oke, baiklah saya akan menerangkan lebih lanjut. Tolong dibaca dengan baik-baik.

Pengelompokan Manusia 

Walau setiap individu manusia memiliki karakter sendiri tetapi juga memiliki persamaan-persamaan karakter dan dikelompokan berdasarkan satu atau beberapa kategori. Ada banyak kategori pengelompokkan masyarakat seprti berdasarkan wilayah, kurun waktu, jenis kelamin, budaya, usia, warna kulit dan banyak lagi. Pengelompokkan ini membuat suatu karakter masyarakat. Seperti kelompok di wilayah eropa berbeda karakter dengan di asia, juga warna kulitnya, masyarakat di masa lampau berbeda karakter dengan di masa sekarang.
Kelompok masyarakat itu memiliki persamaan tinggal di wilayah yang sama juga memiliki kategori yang sama lainnya seperti warna kulit, kebiasaan, sifat dan yang lainnya sehingga membentuk budaya, norma, peraturan tertulis dan tidak tertulis dan membentuk suatu peradaban. Perbedaan yg ada di setiap individu dapat disatukan dengan terbentuknya suatu tatanan masyarakat.

Hal itu membuat adanya perbedaan yg jelas antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Pengkategorian itu menjadi bias, saat melihat kenyataan bahwa ‘garis’ pembeda antar kelompok masyarakat itu menjadi tidak jelas, adanya kenyataan ada wilayah antar kelompok masyarakat, antara wilayah eropa dan asia bukan suatu ruang hampa, ada suatu wilayah, antara dua budaya yg berbeda ada budaya lain diantaranya yg masuk kedua budaya itu, antara dua warna kulit yang berbeda ada warna kulit lain, yaitu warna kulit campuran keduanya. Antara laki-laki dan perempuan ada interseks yang memiliki dua kelamin.

Kita selalu mengagungkan manusia merupakan makhluk paling sempurna. Sayangnya disisi lain kita sering mengungkapkan manusia itu tidaklah sempurna. Ya atau tidak, kita sering mengatakan sesuatu yang bertolak belakang ini. Kita seperti hinggapi sebuah keraguan. Satu ketika, dengan lantang kita berkata bahwa manusia adalah makhluk sempurna, namun di kesempatan lain dengan mudah berkata kita makhluk tidak sempurna. Lantas mana yang benar ? Kita sendiri bangga mengatakan dua hal yang kontradiktif tersebut.

Dalam kitab suci pun, dengan tegas dikatakan manusia merupakan makhluk paling sempurna. Ia bukanlah malaikat yang hanya diberikan ketaatan. Manusia bukanlah jin yang hinggapi hawa nafsu. Tuhan pun memberikan jasad manusia berwujud, tidak seperti jin dari api atau malaikat dari cahaya. Kita diberikan tubuh yang lengkap dan sempurna dengan berbagai variasi. Tidaklah tuhan memberikan variasi dalam struktur yang sejenis tanpa maksud.
Jika ada diantara kita yang menampikkan Tuhan sebagai entitas segalanya, kita telah mendefinisikan diri sebagai manusia. 

Dengan melihat, mengamati dan berpikir akhirnya kita medefiniskan diri sebagai manusia. Kita bukanlah kelompok binatang yang lahir, hidup, beranak pihak dan mati. Kita pun bukan bagian dari mereka karena kita tak menghabiskan hidup untuk makan dan kawin. Manusia pun tak bisa dikelompokan sebagai tumbuhan yang mengakar dan tumbuh begitu saja. Kita punya kemampuan bergerak dan mengembangkan diri. Kaki yang dimiliki bukanlah akar yang menacap. Bertambahnya berat badan dan tinggi tidak lah menjadi pembenar persaman dengan tumbuhan. Otak ada untuk berpikir dan menganalisa semua itu dan mendefinisikan bahwa manusia bukan hewan atau bianatang. Hati ada untuk cermin diri.

Kesadaran tentang ketidaksempurnaan lambat laun lahir ketika kita menyadari tak semua hal mampu dilakukan sendiri. Sekedar untuk mandi sendiri ketika bayi kita tak mampu. waktu dan lingkungan yang akhirnya mengajarkan kita tentang semua hal. Kehidupan sosial tumbuh dan bekembang mendefiniskan diri ini. Kenyataan demikian yang menimbulkan pengharapan pada orang lain termasuk urusan hati.

Tak dapat diingkari ini merupakan bagian yang integral bahwa manusia sempurna secara individual namun kita tak lengkap tanpa orang lain. Akhirnya sempurna atau tidak bukanlah sesuatu yang kontradiktif karena kedua memberikan kesempatan utuh menjadi sempurna. Dalam konteks individu, kita diberikan kesempatan untuk bersyukur dengan kesempurnaan yang dimiliki dengan memaksimalkan segala seuatu yang melekat di badan.
Pada hal ketidaksempurnaan antar manusia, kita diminta untuk berusaha sempurna dalam hubungan sosial. Ketidaksempurnaan yang adalah sebuah kesempurnaan. Pada posisi ini manusia diminta untuk menyempurnakan.

Masing - masing diantara kita adalah makhluk yang sempurna. Perbedaan yang kita miliki membuat semua terlihat tidak sempurna. Tanpa disadari perbedaan yang ada merupakan sebuah esensi yang ada bahwa hidup ini begitu sempurna. Jika semua diciptakan sama, hidup ini akan begitu membosankan.

Perasaan tidak sempurna hanyalah perasaan. Dengan bekal yang sempurna manusia diberikan kesempatan untuk menyempurnakan apa yang dirasakan tersebut. Dalam keyakinan penuh, tentunya Tuhan sebagai Supreme Causa telah melihatnya sebagai sebuah kesempurnaan.

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia dikaruniai budi sehingga mampu memahami, mengerti, dan memecahkan persoalan – persoalan yang ada di sekitarnya. Tentu saja kemampuan manusia ini tidak diperoleh begitu saja. Melalui pengalaman, pendidikan, lambat laun manusia memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu yang terjadi di liongkungannya. Namun manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah didapatnya. Rasa ingin tahu , ingin mengerti yang merupakan kodrat manusia membuat manusia selalu bertanya-tanya apa ini, apa itu, bagaimana ini, bagaimana itu, mengapa begini, mengapa begitu. Pertanyaan – pertanyaan ini muncul sejak manusia mulai bisa berbicara dan dapat mengungkapkan isi hatinya. Makin jauh jalan pikirannya, makin banyak pertanyaan yang muncul , makin banyak usahanya untuk mengerti. Jika jawaban dari pertanyaan –pertanyaan tersebut mencapai alasan atau dasar, sebab atau keterangan yang sedalam-dalamnya, maka puaslah ia dan tidak akan bertanya lagi. Akan tetapi, jika jawaban dari pertanyaan itu belum mencapai dasar, maka manusia akan mencari lagi jawaban yang dapat memuaskannya.

Arti manusia menurut Wikipedia itu sendiri adalah sebagai berikut :

Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.
Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah, jenis kelamin seorang anak yang baru lahir entah laki-laki atau perempuan. Anak muda laki-laki dikenal sebagai putra dan laki-laki dewasa sebagai pria. Anak muda perempuan dikenal sebagai putri dan perempuan dewasa sebagai wanita.
Penggolongan lainnya adalah berdasarkan usia, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, akil balik, pemuda/i, dewasa, dan (orang) tua.
Selain itu masih banyak penggolongan-penggolongan yang lainnya, berdasarkan ciri-ciri fisik (warna kulit, rambut, mata; bentuk hidung; tinggi badan), afiliasi sosio-politik-agama (penganut agama/kepercayaan XYZ, warga negara XYZ, anggota partai XYZ), hubungan kekerabatan (keluarga: keluarga dekat, keluarga jauh, keluarga tiri, keluarga angkat, keluarga asuh; teman; musuh) dan lain sebagainya.
Tokoh adalah istilah untuk orang yang tenar (misalnya 'tokoh politik', 'tokoh yang tampil dalam film', 'tokoh yang menerima penghargaan', dll).

Umat manusia selalu mempunyai perhatian yang hebat akan dirinya sendiri. Kecakapan manusia untuk mengintrospeksi diri, keinginan individu untuk menjelajahi lebih mengenai intisari diri mereka, tanpa terkecuali menghasilkan berbagai penyelidikan mengenai kondisi manusia merupakan pokok jenis manusia secara keseluruhan. Renungan diri adalah dasar dari filsafat dan telah ada sejak awal pencatatan sejarah. Artikel ini misalnya, karena ditulis oleh manusia, dengan sendirinya tak dapat luput dari contoh refleksi diri.
Manusia kerap menganggap dirinya sebagai spesies dominan di Bumi, dan yang paling maju dalam kepandaian dan kemampuannya mengelola lingkungan. Kepercayaan ini khususnya sangat kuat dalam kebudayaan Barat, dan berasal dari bagian dalam cerita penciptaan di Alkitab yang mana Adam secara khusus diberikan kekuasaan atas Bumi dan semua makhluk. Berdampingan dengan anggapan kekuasaan manusia, kita sering menganggap ini agak radikal karena kelemahan dan singkatnya kehidupan manusia (Dalam Kitab Suci Yahudi, misalnya, kekuasaan manusia dijanjikan dalam Kejadian 1:28, tetapi pengarang kitab Pengkhotbah meratapi kesia-siaan semua usaha manusia).
Ahli filsafat Yahudi, Protagoras telah membuat pernyataan terkenal bahwa "Manusia adalah ukuran dari segalanya; apa yang benar, benarlah itu; apa yang tidak, tidaklah itu". Aristotle mendeskripsikan manusia sebagai "hewan komunal" (ζωον πολιτικον), yaitu menekankan pembangunan masyarakat sebagai pusat pembawaan alam manusia, dan "hewan dengan sapien" (ζωον λογον εχων, dasar rasionil hewan), istilah yang juga menginspirasikan taksonomi spesies, Homo sapiens.
Pandangan dunia dominan pada abad pertengahan Eropa berupa keberadaan manusia yang diciri-cirikan oleh dosa, dan tujuan hidupnya adalah untuk mempersiapkan diri terhadap pengadilan akhir setelah kematian. Pencerahan / pewahyuan digerakkan oleh keyakinan baru, bahwa, dalam perkataan Immanuel Kant, "Manusia dibedakan di atas semua hewan dengan kesadaran-dirinya, yang mana ia adalah 'hewan rasionil'". Pada awal abad ke-20, Sigmund Freud melancarkan serangan serius kepada positivisme mendalilkan bahwa kelakuan manusia mengarah kepada suatu bagian besar yang dikendalikan oleh pikiran bawah sadar.
Dari titik pandang ilmiah, Homo sapiens memang berada di antara spesies yang paling tersama-ratakan di Bumi, dan hanya ada sejumlah kecil spesies tunggal yang menduduki lingkungan beraneka-ragam sebanyak manusia. Rupa-rupa usaha telah dibuat untuk mengidentifikasikan sebuah ciri-ciri kelakuan tunggal yang membedakan manusia dari semua hewan lain, misal: Kemampuan untuk membuat dan mempergunakan perkakas, kemampuan untuk mengubah lingkungan, bahasa dan perkembangan struktur sosial majemuk. Beberapa ahli antropologi berpikiran bahwa ciri-ciri yang siap diamati ini (pembuatan-perkakas dan bahasa) didasarkan pada kurang mudahnya mengamati proses mental yang kemungkinan unik di antara manusia: kemampuan berpikir secara simbolik, dalam hal abstrak atau secara logika. Adalah susah, namun, untuk tiba pada suatu kelompok atribut yang termasuk semua manusia, dan hanya manusia, dan harapan untuk menemukan ciri-ciri unik manusia yang adalah masalah dari renungan-diri manusia lebih daripada suatu masalah zoologi.


 Kesimpulan

Kesimpulan yang telah saya dapatkan adalah bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis dan mempunyai logika yang walaupun di luar kemampuannya untuk menjawab. Sebenernya dalam membuat riset itu adalah sebuah contoh juga bahwa manusia itu tidak bisa diptakan. Kategori suatu bentuk yang dapat di petakan adalah suatu yang statis dan tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir seperti manusia purba yang masih belom bisa berfikir banyak. Jadi, kita dapat simpulkan bahwa manusia tidak dapat dipetakan karena manusia itu sendiri yang telah membuatnya atau bisa disebut juga ini adalah The Teory of Faith yaitu adalah teori takdir. Seperti halnya kita menanyakan tentang keberadaan Tuhan padahal otak kita belum sampai bisa mencerna ilmu yang Tuhan punya, itu lah sebabnya manusia tidak bisa di petakan.

Mungkin ini adalah sebagian dari ilmu yang ada di muka bumi ini. Dan maaf sebanyak-banyaknya jika materi yang saya ulas ini salah. Saya hanyaa mencoba memahami dan jika salah tolong dikoreksi, terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar